
Harga kelapa bulat di Indonesia melonjak tajam dalam beberapa waktu terakhir. Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengungkapkan bahwa lonjakan ini dipicu oleh tingginya permintaan ekspor, terutama dari China.
“Kelapa ini kan banyak permintaan ekspor juga ya. Banyak permintaan ekspor, terus industri di dalam negeri juga banyak minta,” ujar Budi saat ditemui di kantor Kemendag, Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2025 di Jakarta, juga menyoroti fenomena ini. Ia menyebut China semakin agresif membeli kelapa dari Indonesia untuk diolah menjadi santan, yang kini semakin populer sebagai alternatif susu.
“Saya ambil contoh kelapa saja, kita sekarang kekurangan kelapa karena kelapa kita sekarang habis dibeli China,” kata Zulhas.
Akibat tingginya ekspor, pasokan dalam negeri mulai menipis. Di Pasar Senen, harga kelapa bulat yang sebelumnya Rp10.000 per butir kini melonjak menjadi Rp15.000. Pemerintah pun berencana melakukan evaluasi dengan melibatkan semua pihak terkait.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kelapa Indonesia mengalami fluktuasi signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2020, nilai ekspor kelapa RI mencapai US$9,27 juta, kemudian turun ke US$7,10 juta pada 2021, sebelum kembali naik ke US$10,77 juta pada 2022. Namun, setelah sempat berada di angka US$9,38 juta pada 2023, ekspor kembali turun ke US$7,05 juta pada 2024.
Jika melihat ekspor ke China secara spesifik, pertumbuhan sempat sangat pesat. Pada 2020, ekspor ke China hanya US$35.180. Angka ini naik ke US$140.317 pada 2021, lalu melonjak ke US$267.842 di 2022, dan mencetak rekor US$958.689 pada 2023. Namun, pada 2024, ekspor ke China turun drastis menjadi US$683.499.
Fluktuasi ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum memiliki strategi ekspor yang benar-benar stabil dan terencana dengan baik.
Sementara ekspor Indonesia masih bergejolak, Vietnam justru sukses mencetak rekor dengan ekspor kelapa mencapai US$1,1 miliar pada 2024. Kesuksesan Vietnam bukan tanpa alasan. Negara ini telah mengamankan perjanjian perdagangan khusus dengan China, memastikan pasokan kelapanya bisa masuk dengan lebih mudah.
Lebih dari 600 perusahaan di Vietnam terlibat dalam produksi dan pengolahan kelapa, menciptakan ekosistem industri yang solid dan kompetitif. Sepertiga produksi kelapa Vietnam bahkan telah memenuhi standar organik AS dan Eropa, memungkinkan mereka merambah pasar premium dengan harga lebih tinggi.
Indonesia, di sisi lain, masih bergantung pada pola ekspor tradisional tanpa diversifikasi signifikan. Tidak adanya perjanjian dagang khusus dengan China membuat akses pasar Indonesia tidak sekuat Vietnam. Selain itu, kualitas dan standarisasi produk masih menjadi tantangan besar. Jika dibandingkan dengan Vietnam yang sudah mampu menembus pasar global dengan kelapa organik bersertifikasi, Indonesia masih tertinggal.
Dalam kondisi ini, perlu ada perubahan strategi agar Indonesia bisa bersaing di pasar global. Pemerintah perlu mendorong negosiasi perjanjian dagang yang lebih menguntungkan dengan China dan pasar potensial lainnya. Standarisasi produk dan peningkatan kualitas juga menjadi kunci agar kelapa Indonesia dapat menembus segmen premium.
Selain itu, diversifikasi pasar dan penguatan industri pengolahan kelapa dalam negeri juga harus menjadi fokus utama agar Indonesia tidak hanya menjadi eksportir bahan mentah, tetapi juga mampu menghasilkan produk bernilai tambah tinggi.