
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus melakukan kajian mengenai rencana pemangkasan produksi bijih nikel dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2025. Kajian itu ditargetkan bisa selesai pada akhir bulan Februari 2025 ini.
“Lagi progress (evaluasi RKAB nikel). Mestinya akhir bulan ini selesai,” tegas Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (14/2/2025).
Lebih jelasnya, Tri mengungkapkan evaluasi RKAB nikel RI tahun 2025 yang dilakukan oleh pihaknya saat ini berkenaan dengan alasan dibalik turunnya harga nikel dunia. “Apabila itu karena supply demand (nikel) yang tidak seimbang maka (karena) produksi. Tetapi kita lihat dulu. Bener nggak karena supply demand-nya yang nggak imbang?,” katanya.
Melansir indeks London Metal Exchange, harga nikel saat ini mencapai US$ 15.374 per ton. Padahal, harga nikel dunia sempat mencapai level US$ 100.000 per ton pada tahun 2022 lalu.
Kelak, setelah hasil evaluasi yang dilakukan oleh pihaknya selesai, pemerintah akan melakukan evaluasi pada kepatuhan perusahaan dalam menyetorkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga evaluasi terhadap kepatuhan reklamasi pasca tambang yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan nikel dalam negeri.
“Kita juga melakukan evaluasi terhadap kepatuhan yang lain. Misalnya terkait dengan PNBP-nya perusahaan gimana sih? Terus kemudian terkait dengan reklamasi pasca tambangnya. Sehingga evaluasi ini kita lakukan secara komprehensif,” tandasnya.
Asal tahu saja, Kementerian ESDM mengungkapkan target produksi bijih nikel dalam negeri untuk tahun 2025 ini mencapai 220 juta ton.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pernah mengatakan bahwa pemerintah tengah mempertimbangkan untuk meninjau ulang Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) sektor nikel. Hal ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan industri dan keberlanjutan para pengusaha lokal.
Menurut Bahlil, kebijakan ini dilakukan agar pengaturan RKAB lebih sesuai dengan kebutuhan nyata industri. Ia lantas menegaskan bahwa pemangkasan produksi sendiri hingga kini belum dilakukan, tetapi pemerintah akan menjaga keseimbangan permintaan perusahaan terhadap RKAB dengan kapasitas industri yang ada.
“Kita membuat RKAB itu berdasarkan sesuai kebutuhan. Pemangkasan belum ada, yang ada itu menjaga keseimbangan antara permintaan perusahaan-perusahaan terhadap RKAB dan kapasitas industri, serta memperhatikan juga pelaku pengusaha lokal,” kata Bahlil di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (17/1/2025).
Bahlil membeberkan, kebijakan ini dirancang untuk memberikan peluang bagi pelaku usaha lokal agar dapat menjual produknya. Pasalnya, apabila tidak ada yang mengatur pembagian ini,pengusaha lokal akan kesulitan menjual hasil tambangnya.
“Jadi kalau industri perusahaan A mengajukan RKAB-nya 20 juta, contoh. Kemudian dia untuk memenuhi stok pabriknya itu 20 juta ya kita kasih dia 60%, 40%-nya dia harus ngambil masyarakat lokal. Kalau tidak bagaimana masyarakat lokal mau jual ke mana,” kata dia.